Ola's Privacy Blog

Sejak saat itu, pada setiap pertemuan kita berikutnya, kamu tak pernah lagi mengatakan I love you; atau menuntutku memberi nama pada apa yang kita punya. Aku lega. Sekaligus kangen.

Kalau boleh jujur, sesungguhnya aku ingin mendengarmu mengatakannya sekali lagi. Tetapi kamu bahkan tak mengucapkan I love you ketika kita berpisah. aku menyadari bahwa ini adalah kebersamaan kita yang terakhir kali. Bahwa setelah ini, kita tak akan pernah bersatu lagi.

“Kamu lupa, tidak akan pernah ada lagi kita. Aku dan kamu telah memilih jalan yang berbeda. But still, I love you forever,” ujarku dalam hati.

“Love me forever is overrated. Give me something timeless,” sambungku dalam hati.

Itu saja.

Ekspresi wajahmu sama datarnya seperti ekspresi Captain Cook dan keluarganya dalam potret-potret tua yang terpasang di dinding. Kamu bahkan tidak bertanya apa arti I love you dalam perkataanku tadi.

Diam-diam, aku setengah berharap bahwa saat itu bukanlah saat kita yang terakhir. Bahwa kamu akan kembali. Bahwa kita tidak sungguh-sungguh akan berpisah. Mungkin kamu akan mengirimkan SMS sesekali. itupun terdesak, aku yakin.

Tetapi kamu tidak kembali. Aku tidak pernah mendengar kabarmu lagi, kecuali dari kicauan Twitter-mu yang sekali-sekali itu dan teman temanmu. Dan menunggu setiap kicauanmu itu rasanya lama sekali. Kicau yang tak pernah cukup mengkompensasi ketidakhadiranmu di sini.

Karena itulah, aku bertahan selama berjuta juta menit lamanya.

Aku hanya bisa berharap, suatu hari nanti, tiba-tiba kamu kangen aku. Lalu memutuskan mampir ke sini menjelang dini hari. Setelah itu, mungkin kita hanya akan duduk diam lagi. Meminum teh hangat. Bercerita ria. Mendengarkan musik. Kembali menekuni kesibukan masing-masing. Mencuri pandang dan bertukar senyum sesekali. Menahan waktu di mobilmu hingga tak sadar sampai memakan banyak waktu.

Memang, tanpamu, aku juga masih bisa menjalani semua rutinitas itu. Sendirian. Persis seperti sekarang ini. Tetapi, kalau ada kamu, rasanya lain.